Sabtu, 03 November 2012

special anak tuna netra

Anak tuna netra dengan hambatan penglihatan membutuhkan pengajaran yang khusus. Tidak hanya alat tulisnya berupa brille yang berbeda dari lainnya, namun metode ajar dalam menyampaikan ilmu secara holisticpun juga harus berbeda. Pengajaran yang dilakukan berdasar pada karakteristik anak tuna netra  hanya mengandalkan indera pendengaran dan perabaan dalam menerima informasi dari luar diri mereka. Sehingga kreatifitas seorang guru dalam memaksimalkan dua indera yang ada sangat diperlukan.
Bila kita menengok kurikulum saat ini. Kita akan menemukan betapa padatnya materi ajar yang harus dikuasai anak dengan waktu yang terbatas. Tak jarang materi itu akhirnya hanya masuk ke telinga kemudian mampir ke otak sebentar dan akhirnya keluar lagi, kemudian bergabung dengan molekul- molekul di udara.
Sebut saja pelajaran matematika. Dimana karakteristik dari pelajaran ini adalah tingkat abstrak yang tinggi. Seorang guru harus pandai menyampaikan sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret dan dapat diterima peserta didik tuna netra. Pada akhirnya kebanyakan dari guru menggunakan metode ceramah dikelas, sehingga anak tuna netra dituntut untuk menjadi pendengar yang baik dan memiliki persepsi atau awang- awang yang tajam. Kenapa bisa begitu?
Kita ambil contoh: ketika anak normal diminta menyelesaikan soal matematika perkalian dua bilangan 12X24. Mereka akan memakai cara perkalian bersusun dengan mungkin membuat coret-coretan di kertas lain sebelum mereka mendapatkan jawaban. Sedangkan untuk anak tunet, mereka harus membuat persepsi terlebih dahulu bilangan 12 dan 24, setelahnya mereka menggunakan cara perkalian linear/mendatar. Yaitu 12X20 ditambah 12X4, kemudian mereka baru menambahkannya. Jumlah waktu yang digunakan dalam menyelesaikan soal tersebut sudah tentu lebih lama. Belum lagi symbol braille dalam matematika beserta variabelnya yang rumit pula. Sehingga sebenarnya mereka lebih cerdas daripada anak normal pada umumnya.