Anak tuna netra dengan hambatan penglihatan membutuhkan
pengajaran yang khusus. Tidak hanya alat tulisnya berupa brille yang berbeda
dari lainnya, namun metode ajar dalam menyampaikan ilmu secara holisticpun juga
harus berbeda. Pengajaran yang dilakukan berdasar pada karakteristik anak tuna
netra hanya mengandalkan indera
pendengaran dan perabaan dalam menerima informasi dari luar diri mereka. Sehingga
kreatifitas seorang guru dalam memaksimalkan dua indera yang ada sangat
diperlukan.
Bila kita menengok kurikulum saat ini. Kita akan menemukan betapa
padatnya materi ajar yang harus dikuasai anak dengan waktu yang terbatas. Tak
jarang materi itu akhirnya hanya masuk ke telinga kemudian mampir ke otak
sebentar dan akhirnya keluar lagi, kemudian bergabung dengan molekul- molekul
di udara.
Sebut saja pelajaran matematika. Dimana karakteristik dari
pelajaran ini adalah tingkat abstrak yang tinggi. Seorang guru harus pandai menyampaikan
sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang konkret dan dapat diterima peserta didik
tuna netra. Pada akhirnya kebanyakan dari guru menggunakan metode ceramah
dikelas, sehingga anak tuna netra dituntut untuk menjadi pendengar yang baik
dan memiliki persepsi atau awang- awang yang tajam. Kenapa bisa begitu?
Kita ambil contoh: ketika anak normal diminta menyelesaikan
soal matematika perkalian dua bilangan 12X24. Mereka akan memakai cara
perkalian bersusun dengan mungkin membuat coret-coretan di kertas lain sebelum
mereka mendapatkan jawaban. Sedangkan untuk anak tunet, mereka harus membuat
persepsi terlebih dahulu bilangan 12 dan 24, setelahnya mereka menggunakan cara
perkalian linear/mendatar. Yaitu 12X20 ditambah 12X4, kemudian mereka baru menambahkannya.
Jumlah waktu yang digunakan dalam menyelesaikan soal tersebut sudah tentu lebih
lama. Belum lagi symbol braille dalam matematika beserta variabelnya yang rumit
pula. Sehingga sebenarnya mereka lebih cerdas daripada anak normal pada
umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar